SuaraHeadline.com Jakarta – Sebagaimana musik blues dari Amerika, yang sedang menunggu evolusi berikutnya, kita berharap musik dangdut juga bisa meluas ke seluruh dunia. Yakni, menjadi pengisi festival musik yang dinikmati oleh kalangan kelas atas juga.
Hal itu ditegaskan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, dalam Webinar di Jakarta, Kamis malam (14/4). Webinar ini bertopik “Dangdut is the music of my country.” Pemandu diskusi adalah Amelia Fitriani dan Elza Peldi Taher.
Denny menjelaskan, harapan dangdut mendunia itu bukanlah hal yang mustahil. Ini karena sudah ada preseden musik blues. Blues awalnya adalah musik bagi kalangan pekerja kulit hitam dan rakyat miskin di Amerika.
“Namun, kemudian blues naik kelas,” jelas Denny. Pada Februari 2020, ada festival blues di Australia. Jadi blues sudah bergeser, dari sekadar musik rakyat kulit hitam miskin di Amerika, menjadi musik yang mendunia dan dinikmati kelas atas juga.
Blues juga menjadi musik yang menyalurkan kritik sosial. Penyanyi blues Billie Holiday pada 1939 menyanyikan lagu “Strange Fruit.” “Ini kritik atas banyaknya warga kulit hitam, yang digantung di pohon oleh warga kulit putih,” ujar Denny.
Seperti blues, dangdut juga tumbuh sebagai suara kelas bawah. Denny memberi contoh beberapa lagu Rhoma Irama, yang juga menyuarakan kritik sosial. Seperti: lagu “Indonesia” (1981) dan “Gali Lubang, Tutup Lubang” (1989).
Dangdut berkembang sebagai gabungan dari gambus Timur Tengah, musik India dan orkes Melayu Nusantara. Evolusi dangdut mengalami puncaknya di zaman Ellya Khadam (1960-an) dan Rhoma Irama (1970-an dan 1980-an).