Jalan Tengah Polemik Kisruh Taksi Online Versus Konvensional

Suaraheadline.com Jakarta – Kisruh antara transportasi berbasis aplikasi online dan taksi konvensional tampaknya akan terus berlanjut usai Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara enggan memblokir aplikasi transportasi online. Kini para sopir taksi konvensional masih menunggu kelanjutan tuntutannya agar layanan taksi online itu segera dicabut.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi V DPR Ahmad Ali memberikan “jalan tengah” di tengah polemik tersebut. Dia memahami jika keberadaan GrabCar dan Uber dianggap ilegal, tetapi nyatanya masyarakat sangat membutuhkan layanan tersebut.

“Dalam perspektif apapun keberadaan Uber dan GrabCar itu ilegal sebenarnya. Banyak undang-undang yang ditabrak dan semuanya bermuara pada persoalan keselamatan penumpang, pajak, dan perlindungan hukumnya,” kata Ali dalam pesan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu (16/3/2016).

Politisi Partai Nasdem itu mengakui aturan mengenai transportasi publik dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tidak bersifat adaptif terhadap perkembangan dunia digital.

Menurutnya, teknologi gadget bergerak sangat cepat ditunjang dengan berkembangnya industri layanan yang berbasis online telah membuat pemerintah kelabakan. Akan tetapi, proses politik untuk menciptakan regulasi setingkat undang-undang tak secepat perkembangan teknologi digital itu sendiri.

“Perlu akselerasi dari DPR dan pemerintah supaya aturan dan regulasi terbuka terhadap perkembangan teknologi. Aturan yang tidak kompatibel sudah seharusnya dipertimbangkan untuk diubah,” imbuhnya.

Ia menambahkan harus ada jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan terkait kebutuhan transportasi masyarakat yang nyaman dan murah. Pemerintah dalam hal ini punya kuasa kebijakan untuk mengakhiri polemik layanan transportasi online.

Cara yang paling tepat, menurutnya, yaitu dengan membatasi bisnis transportasi online selaku penyedia layanan aplikasi, tanpa keleluasaan untuk menyediakan mobil dan supir seperti saat ini.

“Kalau sekarang ini kan liar, semua orang bisa jadi supir Uber datau GrabCar. Ini rentan bagi keselamatan penumpang. Harusnya disatukan dalam badan hukum, apapun bentuknya. Mau koperasi atau PT dan CV. Nah nantinya, badan hukum itu bekerja sama dengan Uber dan GrabCar,” jelasnya.

Dia menambahkan jika perusahaan yang bekerja dengan GrabCar dan Uber akan dibebani aturan yang sama seperti yang diterapkan kepada perusahaan taksi konvensional, sedangkan Uber dan GrabCar sebagai penyedia aplikasi juga bisa dikenakan instrumen regulasi lain dengan legalitas yang jelas berikut pajak yang melekat atas izin usahanya.

“Di saat yang sama pemerintah juga harus mendorong perusahaan taksi konvensional untuk mengikuti tren teknologi digital saat ini. Sekarang ini tidak bisa lagi melakukan bisnis dengan cara-cara lama. Dunia sudah berubah,” tandasnya. (WE/SH)

Posted by admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *