Solusi Dekarbonisasi Dengan Net Zero Carbon Emission

SuaraHeadline.com Jakarta – Tahun 2022 menjadi tahun percepatan transisi energi menuju net zero emission atau nol emisi karbon. Mulai dari peluncuran ekosistem kendaraan listrik dengan pebrik kedaraan listrik hingga pelarangan pembangunan PLTN batu bara baru oleh Presiden Joko Widodo. Tak hanya pemerintah, DPR RI pun turut menyumbang dukungannya dengan memobilisasi parlemen sedunia untuk bertindak terkait perubahan iklim.

Terbitnya Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2022 tentang penggunaan kendaraan listrik berbasis bateray sebagai kendaraan dinas operasional bagi instansi pemerintah, menjadi salah satu tanda keseriusan pemerintah melakukan percepatan transisi energi, dari energi fosil menuju energi baru terbarukan.

Secara global, hampir semua perusahaan global saat ini mulai berpikir menuju penggunaan energi baru terbarukan. Era energi fosil mulai ditinggalkan, walau belum seluruhnya. Dunia berlomba untuk menggapai net zero emission.

Net Zero Emission atau nol emisi karbon merupakan kondisi di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap Bumi.

Semua perusahaan berusaha mencapai net zero emission, karena hampir di semua belahan dunia sudah dipakai regulasi khusus, termasuk perdagangannya (carbon trade).

Sementara Indonesia masih berjuang untuk menetapkan regulasi dekarbonisasi. Walau demikian, Indonesia sudah memiliki Undang-undang Pajak Karbon, yakni Perpres 98 Tahun 2021. Targetnya, seharusnya pada tahun depan, 2023, Indnesia sudah memiliki regulasi khusus dalam perdagangan karbon.

Hal itu dikatakan Aldi Ernanda Sustain pada IPA Convex ke-46 yang digelar di JCC, Senayan, Jakarta (21-23/9/2022). Aldi menjelaskan semua proses yang ada di ranah pengelolaan migas, dari hulu hingga hilir.

Apa relevansinya terhadap net zero? Net to zero merupakan suatu sistem yang tidak sekali jalan, melainkan secara bertahap, dari penjabaran hulu sampai hilir.

Saat ini, undang-undang tentang pajak karbon di Indonesia sedang memprioritaskan solusi emisi karbon pada pembangkit listrik tenaga batubara terlebih dahulu. Selanjutnya pada sektor lainnya.

Namun, banyak praktisi kita belum memenuhi standar kompetensi. Mereka mengatakan mereka sudah mengurangi sekian persen emisi, tapi pertanyaannya siapa yang membuat angka pengurangan emisi itu menjadi valid?). Mereka mudah mempublikasi angka pengurangan emisi perusahaan mereka tanpa membuat kajian secara mendalam. Aspek integritas dan transparansinya bisa dipertanyakan publik. Untuk publikasi seperti itu sudah ada standarnya, yaitu ISO 1404 yang berlaku di seluruh dunia.

Ketika hendak melakukan pengurangan emisi, pertanyaannya apakah perusahaan-perusahaan kita bisa mencapai net to zero? Banyak tantangan pada perusahaan migas kita. Selain kebijakan pengurangan, juga dilakukan carbon credit.

Tantangan terbesar lain adalah kontribusi kita adalah 42 persen secara global. Perusahaan migas itu berkontribusi pada emisi karbon sangat besar, bahkan salah satu terbesar di dunia. Perlu tersedianya proyek-proyek besar untuk pengurangan emisi karbon kita. Mungkinkah 41% itu menjadi net zero?

Bagaimana solusi terhadap tantangan ini? Seharusnya pengukuran emisi karbon itu sampai detail, tidak cukup hanya total keseluruhan, melainkan ada detailnya. Kedua, identifikasi hotspot-nya, yaitu prioritas. Improvementnya harus dikonsolidasi dan difollow-up, dan komunikasi yang transparan dengan bantuan audit.

Yang perlu dipertimbangkan adalah memegang teguh value. Semua orang bisa klaim penurunan emisi sudah berapa juta ton, tetapi kenyataannya, value dari penurunan itu apakah merupakan kontribusi yang bagus bagi negara? Seara nasional Indonesia punya target pengurangan emisi karbon sebesar 26-41 persen pada 2050. Walau pemerintah kita belum punya regulasi yang jelas, namun pelaku perdagangan karbon di Indonesia itu sudah banyak sekali.

Posted by admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *