PKS: Oposisi Bukan Beda Posisi, Tapi Kembali ke Nalar Baik

SuaraHeadline.com Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memandang, oposisi sangat diperlukan untuk menjaga harkat martabat dan melindungi warganya serta menegakkan kedaulatan negara Republik Indonesia.

“Oposisi bukan hanya sekedar beda posisi, kita tetap berlaku objektif dalam kepentingan bangsa negara. Saya anggap oposisi positif dengan melakukan oposisi konstruktif secara nasional. Oposisi ini tetap diperlukan untuk mengembalikan nalar yang baik. Jadi kita oposisi bukan hanya asal beda bukan asal mencari kesalahan. Ini dalam rangka menghadirkan bernegera yang demokratis,” ujar Wakil Ketua MPR, HM. Hidayat Nur Wahid di Acara Launching Buku “Kami Oposisi”, Selasa (4/2/2020) dan juga dihadiri oleh para tokoh dan perkumpulan Gerakan Indonesia Madani (GIM).

Dalam menghadirkan bernegera yang demokratis, menurut Hidayat, ada empat pilar yang selama ini partai ke depankan. Pertama, PKS ingin beroposisi secara rasional dan sederhana.

“Kalau kami menang alangkah baiknya memimpin, kalau kami tidak menang secara elegan kami beroposisi. Jangan mewacanai pembenaran yang aneh-aneh. Bukan berarti diluar pemerintahan ingin menghancurkan Indonesia, itu cara pandang yang salah. Dimana pun kita berada, sesungguhnya kita bisa membangun bangsa dan negara. Kalau diluar pemerintahan pun kita juga membangunnya secara rasionalitas politik dan konstitusional,” jelas Hidayat.

Kedua, menurut dia, membangun demokrasi. Kalau semua demokrasi selalu begabung pada pemerintahan, jadi dimana letak semuanya yang dibangun?, kalau semua di pemerintahan, dimana letak demokrasinya. “Kami tetap menghadirkan demokrasi yang bermarwah dan bermartabat demi menyelamatkan NKRI,” imbuh Hidayat.

Ketiga, lanjut dia, pihaknya ingin mengembalikan publik tentang demokrasi, baik tentang radikalisme, terorisme. Ini untuk meletakkan posisi sebenarnya. Kalau demokrasi menghadirkan dengan mengecewakan rakyat, maka semakin benar mereka, ternyata demokrasi tidak ada gunanya. Demokrasi yang hanya menghadirkan manusia untuk menghancurkan Republik, jadi demokrasi harus menjadi jalan yang benar.

“Melawan radikalisme sendiri tidak pernah dikampanyekan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien tetapi saat ini yang paling mengambil isu di di Republik ini. Kami akan melawan isu radikalisme. Begitu mereka menentukan kabinet mereka selalu mengkampanyekan kabinet ini anti radikalisme,” ucap Hidayat.

Namun lanjut dia, Presiden Jokowi telah mengganti dengan istilah manipulasi agama atau manipulator agama. Mungkin mereka merujuk di dalam surat Al Maun. Seharusnya yang Presiden Jokowi kedepankan dengan berpihak pada rakyat kecil, bukannya malah menaikkan elpiji, BBM, listrik, BPJS.

“Jadi, Jokowi sendiri yang merubah paradigma, janganlah merubah pandangan pada radikalisme dan manipulator agama. Sehingga itupun dilakukan dengan cara cara tidak adil,” kata Hidayat.

Terakhir keempat, ungkap Hidayat, pihaknya berkomitmen apa yang akan diputuskan oleh partai. Kalau di partai saja sudah tidak ditaati bagaimana bisa mentaati konstitusi sendiri. Kalau di suatu organisasi saja sudah tidak bisa mentaatinya, bagaimana dengan organisasi yang lebih besar dan bernegara yang baik.

Sikap ini semakin diperlukan, ketika rakyat melalui pemilu semakin berbeda seperti dikampanyekan. Menurut Hidayat, pernahkah Jokowi dan Ma’ruf Amien saat berkampanye bilang ingin memindahkan ibukota ke Kalimantan Timur, tentu tidak. Tetapi kenapa mereka begitu meramaikannya begitu dimenangkan oleh KPU, itu yang sekarang paling ramai meributkan untuk memindahkan ibukota.

“Kami tetap berkampanye di Pemilu 2024, Jakarta tetap menjadi ibukota Indonesia. Lalu menguncinya di UUD 1945, sesuai turunan aturannya bahwa ibukota akan kembali menjadi ibukota Indonesia,” jelas Hidayat.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera menyampaikan, pihaknya perlu mewujudkan oposisi yang konstruktif agar kekuasaan eksekutif tidak menjadi ‘abuse of power’ atau penyalahgunaan kekuasaan dalam bentuk penyimpangan jabatannya.

“Dalam berpolitik kita ingin membangun oposisi yang santun dan beradab. Menjadi oposisi merupakan langkah konstruktif dan perlu keberanian,” ujar Mardani.

Sedangkan Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar berpendapat, bahwa menjadi oposisi bukan berarti PKS kalah bertarung dalam kompetisi Pemilu. Namun sepertinya ingin berperan dalam penyeimbang dan mengambil peran berkecimpung diluar area eksekutif.

“Ini bukan orang kalah bertarung terus menjadi oposisi nggak juga, gak juga takut dituduh orang kalah bertarung juga nggak. Bahasa gampangnya memang oposisi dan buku ini teoritis bagaimana dapat di akses untuk orang banyak. Memang harus ada pendidikan politk,” kata Haris.

Menurut Haris, kalau mau mengkonstriksikannya, kalau negara kuat rakyat akan kuat, kalau pemerintah kuat rakyat tidak kuat pemerintah akan semena mena. Begitu sebaliknya kalau rakyat kuat negara tidak kuat akan menjadi lemah.

Dia bercerita, negara maju seperti New Zaeland itu demokrasinya luar biasa. Begitu indahnya bentuk partisipasi publik ada pro dan kontra terhadap pemerintahnya hal tersebut menjadi biasa dan lumrah.

“Sebenarnya kita juga tidak takut terhadap siapapun termasuk Presiden Jokowi, kita perlu sadarkan juga pada pemerintah ini, anda tidak bisa jalan sendirian anda perlu partisipasi. Mereka mendefinisikan demokrasi seperti apa, kita juga tidak boleh mendefinisikan seperti apa. Whattshap aja seperti apa, ini aja mengarah pada point untuk mendeskriditkan. Pada PKS posisinya ngrih-ngerih sedap pada saat ini,” ujar Haris.

Disisi lainnya lanjut dia, dirinya khawatir ada idigium yang dialamatkan pada rezim, bahwa partai ini susah ditundukkan oleh penguasa rezim. Padahal kalau dari penguasa sudah cukup handal memainkan pada lapisan kedua, ketiga dan keempat seperti dengan cukup masifnya memainkan politik identitas.

“(Asumsi kami), ngehe (Partai) ini tidak tunduk-tunduk. Begitupun PKS sudah cukup masif memainkan peran sebagai oposisi. Partai ini bagaimana bisa menjalankan nilai Islam tapi juga dapat menguntungkan orang lain. Kemaslahatan itu harus seluas mungkin,” ucap Haris.

Lanjut dia, pihaknya menitip pesan pada rekan-rekan bukan sekedar berbeda tetapi bagaimana masuknya seperti masuk ke dalam inti bawang, makin dalam makin pedih tapi makin bermanfaat buat masyarakat. Rujukannya ada dua konstitusi yang tidak tertulis, dan yang tertulis.

“Jadi bagaimana mendengarkan jeritan orang miskin, jeritan pada kaum yang tertindas, data-data ketidak adilan di Republik ini cukup banyak. Tetapi PKS juga tidak bisa berjalan sendiri, perlu ada oposisi diluar parlemen bersama-sama menjadi oposisi. Intinya sih beroposisi itu bagaimana masuknya bawang merah muda, meski pedih buat mata kalau diolah itu menyehatkan,” jelas Haris.

Masih ditempat yang sama, mantan Cawapres Sandiaga Salahuddin Uno memaparkan, buku “Kami Oposisi” menjadi brand identity yang kuat. Ini tuntunan dalam berdemokrasi dan bernegara.

“Buku ini menjadi panduan kita karena tidak terlalu dibawa isu-isu yang substansial, jadi ada lima program atas kebijakan pemerintahan terdiri atas evaluasi pembangunan, manusianya, santun dan beradab, dan menjadi tolok ukurnya,” ungkap Sandi sapaan akrabnya.

Menurut dia, buku tersebut harus memberikan solusi bagaimana mengimplementasikan pengangguran yang meningkat, harus ada link and match. Agenda kedua, pembangunan infrastruktur.

“Evaluasinya ada tapi belum mampu memberikan dampak penciptaan lapangan kerja dan penurunan bahan-bahan pokok. Bagaimana distribusi hadir dan beberapa akses kawasan. Dampak virus corona seperti apa, pemikiran oposisi harus jelas, harus ada suatu yang smart,” kata Sandi.

Selanjutnya, pada program pemangkasan regulasi, sudah ada rencana, belum lagi terhadap pandangan omnibus lawa, jadi UU Omnibus law perlu diantisilasi, sekarang sektor perpajakan saja membuat pengusaha lebih susah.

“Pada pemberdayaan UMKM, kami telah mengusung ok oc, ini sudah masuk ke dalam Omnibus law. Kita harus hadir diparlemen saat meneruskan pembahasannya. Belum lagi penyederhanaan birokrasi dan birokrasi sudah memangkas eselon satu dan dua. Bagaimana oposisi bisa memberikan masukan agar suatu hal ini menjadi brand identity yang kuat dan menjadi mitra pemerintah secara penyeimbang dan kredibel. Apa yang bagus katakan bagus, apa yang kurang baik katakan kurang baik,” papar Sandi.

Sementara itu, seorang filsuf akademisi Rocky Gerung memandang, buku ini sangat profesional dengan basis profesionalitas. Beroposisi berarti berlagak ulang, siapa yang siap berlagak, bertanding dan berlagak.

“PKS tidak usah bersedih, kendati diluar pemerintahan harus tetap tegak berdiri, meskipun ada yang di dalam pemerintahan pun juga masih tetap membungkuk. Jadi PKS bisa memberikan warna tersendiri untuk oposisi,” ujar Rocky.

Lebih lanjut dirinya heran, terhadap sikap pemerintah yang saling mengkritik. Ketika wartawan bertanya Pak Mahfud, bagaimana 100 hari Pemerintahan, dibilang baik-baik saja. Wapres pun menilai (kinerja) Presiden juga baik-baik saja.

“Jadi ini pertama kali terjadi, sesama pemerintah bisa menilai (kinerjanya) bukannya peran oposisi. Kami mengerti betul, oposisi itu pendapat alternatif dan fair dalam bentuk kritik maupun pujian. Kita mencari cara dengan kalimat kami oposisi dengan santun dan beradab, kami oposisi yang konstruktif, berakal. Dalam diri sendiri harus rasional, konstruktif, dan berakal,” tutur Rocky.

Menurut dia, kebebasan berpendapat itu harus ada dua pilihan, kalau hanya satu pendapat itu bukan satu pilihan yang tepat lebih kepada mengarahkan yang tidak rasional dalam menilai kinerja pemerintahan.

“Kenapa orang malu atau segan untuk beroposisi, itulah mental pengecut. Jadi kalau tidak beroposisi tidak keren. Ada yang menganggap kalau oposisi itu mengganggu kekuasaan. Kalay menganggap oposisi itu jelek karena ingin ambil bagian dalam kekuasaan. Justru dibalik oposisi atau berada di pemerintahan ada peluang untuk korupsi.
Oposisi itu inti dari demokrasi, bukan ilegal penghambat demokrasi. Jadi kalau anda tidak beroposisi berarti anda ingin korupsi,” papar Rocky.

Posted by admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *