Setahun Pemerintahan Prabowo, Polri Harus Berbenah dari Dalam dan Program Astacita Masih Harus dilanjutkan

Suara Headline – Menyikapi pembenahan yang tengah dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Direktur Lingkar Studi Data dan Informasi (LSDI) Lukmam Hakim alias Lukman Jalu menilai pembenahan justru harus dimulai dari dalam institusi kepolisian itu sendiri,terutama pada moralitas sumber daya manusianya pada semua aspek.

Dimulai dari sistem perekrutan, kenaikan jabatan atau pangkat, hingga Polri yang kembali pada jati dirinya sendiri sebagai pelindung dan penyelesai masalah di masyarakat.

Reformasi institusi Polri yang sesungguhnya sudah dilakukan terus-menerus sejak peristiwa reformasi hingga hari ini, sehingga redormasi Polri dapat dikatakan tidak stagnan.

Institusi Polri yang sekarang sedang memperbaiki diri saat ini, sama halnya seperti yang sedang dilakukan oleh TNI.
Namun secara khusus, mencermati hal-hal mana yang perlu dibenahi, Lukman menjelaskan perbaikan untuk reformasi internal Polri harus dimulai dari dalam. Sebab menjadi rahasia umum dan tradisi hari ini, untuk bisa menjadi seorang anggota polisi sarat dengan transaksional.

“Jadi pembenahan harus dimulai dari situ karena menyangkut moralitas sebagai aparat negara. Ini harus dibenahi, bukan sekedar reformasi tapi revolusi total dan harus radikal”, ujar Lukman di Jakarta, Rabu, (22/10/2025).

Menurutnya sudah banyak keluhan dari anggota Polri akan hal itu. Dimana ketika seorang anggota Polri memiliki integritas, dedikasi dan pengabdian yang jelas tapi tidak mempunyai akses atau orang dalam (ordal) di tingkat elit selanjutnya, maka manakala dia seharusnya naik pangkat tapi karena tidak kenal ordal menjadi lamban kenaikan pangkatnya.

“Dulu ada patung polisi dijalan raya saja, orang tidak mau berputar untuk melanggar lalulintas. Baru sekedar simbol saja dulu polisi ditakuti dan masyarakat merasa tenang. Tapi sekarang orang jatuh dari motor, jika melapor ke polisi malah ribet,” ujar Lukman.

Lukman mengakui, pada level masyarakat bawah, ia melihat tidak ada banyak permasalahan antara Polri dengan pihak lainnya yang berpotensi menimbulkan persoalan baru. Masyarakat, terutama warga dipedesaan justru begitu menghargai anggota Polri yang berdinas, meskipun hanya bertugas di binmas.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada Polri, yang publik ketahui Polri adalah pelayan masyarakat dan abdi hukum atau abdi negara yang akan membereskan berbagai masalah yang ada di masyarakat.

“Polri harus kembali ke moral sesuai tagline-nya, yaitu melayani, mengayomi dan melindungi untuk memperbaiki citra Polri. Karena itulah yang kemudian membuat Polri ada atau benar-benar hadir ditengah masyarakat. Polri ada bukan sekedar untuk melayani segelintir elit kekuasaan”, ungkap Lukman.

Ia juga menambahkan, citra kepolisian kini mengalami down-grade karena citra yang terbentuk akibat framing medsos. Karena itu Polri harus berbenah dengan memperhatikan perkembangan sosmed dan teknologi. Polri harus online dan up to date. Jika mengacu pada kecepatan media masyarakat yang begitu cepat penyajian informasinya, seolah tanpa batas, dan tidak ada jeda iklan, apalagi ada gift-nya (reward). Seharusnya situasi dan kondisi ini dimanfaatkan oleh Polri untuk “bermain” (lebih dekat) dengan masyarakat, pendekatan secara sosial kepada masyarakat. Sebab Polri adalah alat kekuasaan yang dibentuk atas dasar bagaimana melayani dan melindungi rakyat.

“Bicara reformasi Polri berarti bicara aturan-aturan yang harus dirubah atau direkomendasikan ulang. Reformasi Polri harus berangkat dari bagaimana pendekatan sosial, politik dan budaya dan dari kepolisian itu sendiri”, ujar Lukman.

Bagaimana menyelesaikan kasus-kasus baru-baru ini tidak bisa menilai ada polisi baik dan polisi buruk. Yang penting ada kemauan atau tidak, sebab semuanya dibatasi oleh kewenangan yang beririsan dengan aturan dan kebijakan.

“Saya yakin tiap kali Polri membuat aturan baru pasti melakukan konsultasi terlebih dulu dengan Komisi III DPR RI dan organisasi lainnya seperti NGO atau Police Watch”, tegas Lukman.

Ada suatu tradisi di internal kepolisian yang sifatnya birokratis harus dikaji ulang, misalnya terkait kepangkatan dan keterlibatan unsur kepolisian dalam segala urusan.

Pada wilayah-wilayah yang dimensi intelijennya cukup tinggi perkembangan jaman melahirkan pembaharuan. Bahkan untuk sosok badguy pun menggunakan alih teknologi.

Teknologi dengan segala perkembangannya bekerja didunia itu juga. Namun Polri harus mampu mengimbanginya. “Misalnya ketika terkait hal seperti itu, dalam RUU Kepolisian, Polri harus bisa mengimbangi perkembangan teknologu yang seperti itu, yakni seperti yang digunakan oleh para badguy.

Jadi memang Polri harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Bagaimana kepolisian menyesuailan diri dengan perkembangan itu tidak bisa disalahkan. Sebab sah-sah saja karena atas nama perlindungan dan keamanan untuk masyarakat. Karena untuk melacak sebuah kejahatan serius, seperti jaringan narkoba, judol, human trafficking, yang sekarang banyak memanfaatkan dunia online.

“Jika ada penolakan terhadap penyadapan atau pelacakan dengan menggunakan teknologi dengan alasan melanggar ham, untuk proses penyelidikan kekhawatiran atau penolakan tersebut adalah penilaian subjektif. Saya lebih melihat pada aspek keamanan untuk masyarakat”, ujar Lukman.

Sementara itu menyikapi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, Lukman melihat Presiden banyak melahirkan asumsi dan evaluasi.

Satu tahun pemerintahan Prabowo, ia justru memandangnya dengan satu tahun tanpa Jokowi (Jokowi lengser). Dimasa ini, jaring politik antara Jokowi dengan Prabowo masih ada. Prabowo juga pastinya mempunyai pertimbangan untuk menggunakan menteri-menteri era Jokowi. Nantinya ada hal baik yang Jokowi tinggalkan. Jika baik maka dilanjutkan,tapi jika tidak maka hentikan. Yang penting saling mengerti.

“Dalam pandangan saya Prabowo Subianto harus melakukan: pertama, melakukan upaya pembenahan yang ditinggalkan oleh Jokowi, berupa warisan-warisan yang belum selesai di pemerintahan Jokowi. Tidak semua harus dituntaskan. Jika tidak bisa diteruskan saat ini, jangan dipaksakan. Tinggal katakan, tidak bisa karena alasan keuangan negara dan sebagainya. Seperti pada proyek IKN, kereta cepat, PIK, PMA perkebunan sawit dan lain-lain,” ujar Lukman.

Ia menambahkan pembangunan yang dilakukan Jokowi tapi masih bagus dilakukan, diteruskan. Namun jika berbahaya dan merugikan dari aspek keuangan negara, maka harus jelas penghentian proses pembangunan tersebut.

Evaluasi semua PSN, terutama yang merugikan negara.

Astacita belum bisa dikatakan berhasil atau gagal. Seperti MBG yang diwarnai dengan keracunan dimana-mana, sebaiknya dipidanakan saja bagi pelakunya. MBG jadi proyek bajakan, mulai dari pengadaan sampai siap dapur.

“Prabowo fokus saja pada astacita karena untuk menyusun konsep itu bukanlah hal yang mudah dan butuh proses untuk pelaksanaannya”, dukung Lukman terhadap Presiden.

Posted by Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *