SuaraHeadline.com Jakarta – Secara prinsip dasariah, orang di Sulawesi Utara alih-alih melihat orang lain (sang liyan) sebagai musuh, mereka justru menganggap orang lain sebagai bagian kerabat terdekat, yang kategori
empati sosialnya sebagai “saudara.”
Hal itu ditegaskan Dr. Kamajaya Al Katuuk, Ketua Program Mapalus Unggul, Universitas Negeri Manado. dalam Webinar di Jakarta, Kamis malam (9/6). Webinar itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA.
Diskusi iu membahas tentang penguatan budaya damai di Sulawesi Utara, dan bagaimana agar budaya damai itu bisa menyebar ke daerah-daerah lain di Indonesia. Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Achi Breyvi Talanggai.
Menurut Kamajaya, orang Sulut memandang, kehadiran manusia memiliki misi dasar untuk
menjadi bukan sosok yang biasa saja. Melainkan mereka harus selalu memiliki visi hidup: “lebih baik
dari orang lain.”
“Namun demikian, setelah memiliki kelebihan, dia memiliki tugas obligatif eskalatif untuk mengangkat orang lain. Bukan hanya mengangkat diri sendiri,” lanjut Pembina SATUPENA Sulawesi Utara ini.
Indikator tersebut dibuktikan dengan lahirnya semboyan populer di masa kontemporer, seperti “Torang Samua Basudara.” Semboyan ini marak penggunaannya di periode kepemimpinan Evert Ernest Mangindaan sebagai Gubernur Sulut (periode 1995-2000).
Ujaran tersebut oleh masyarakat luar menjadi sebutan untuk warga Sulut atau Manado. Dalam konteks daerah, bahkan selama dua dekade hingga saat ini, di Sulut –yang sudah tiga kali pemilihan Gubernur– semboyan “Torang Samua Basudara” masih sangat populer.