SuaraHeadline.com Jakarta – SETARA Institute melakukan penelitian tentang dampak produk hukum daerah yang berpotensi diskriminatif terhadap akses pelayanan publik di Jawa Barat dan di Daerah lstimewa Yogyakarta. Penelitian ini mengkaji 91 produk hukum daerah di Jawa Barat dan 24 produk hukum daerah di D.I. Yogyakarta.
Kajian terbaru yang dilakukan oleh SETARA Institute ditujukan untuk mencari jalan advokasi dan penyikapan ketatangeraan atas produk hukum daerah yang intoleran-diskriminatif. Bukan hanya melembagakan diskriminasi, sebagaimana temuan Komnas Perempuan (2009), tetapi juga berdampak terhadap pemenuhan hak atas pelayanan publik yang adil, setara, dan berkualitas. Riset ini menggambarkan bagaimana produk hukum daerah dalam berbagai bentuknya, menimbulkan dampak diskriminasi, baik diskriminasi yang bersifat langsung (direct discrimination) maupun diskriminasi yang bersifat tidak langsung (indirect discrimination). Riset ini memperkuat bahwa keberadaan perda-perda diskriminatif adalah bentuk pelanggaran HAM (violation by rule) dan menuntut penyikapan ketatanegaraan holistik.
Penelitian ini melengkapi kajian-kajian sebelumnya, dimana Komnas Perempuan (2016) mengidentifikasi 421 kebijakan daerah diskriminatif dan SETARA Institute (2017) mengidentifikasi 71 produk hukum daerah yang intoleran dan mengakselerasi praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan.
Rencana pembentukan Badan Pusat Legislasi Nasional yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (17/1/2019) adalah peluang terbaik untuk melakukan dua hal sekaligus: (l) merespons produk hukum daerah diskriminatif yang existing yang berujung pada rekomendasi political review pada masing-masing daerah yang menerbitkannya sehingga tidak menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi No. l37/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XlV/2016; dan (2) mendesain sekaligus menjalankan peran pengawasan terintegrasi dan berkelanjutan rancangan peraturan daerah dan produk hukum daerah lainnya. Pembentukan Badan ini membutuhkan rekonsiliasi kewenangan pengawasan Kementerian Dalam Negeri dan kewenangan Kementerian Hukum dan HAM sekaligus memutus tarik menarik kewenangan dan ego sektoral dua kementerian ini, dalam penanganan produk hukum daerah.
Untuk membentuk Badan ini, Jokowi cukup menerbitkan Peraturan Presiden dengan menghimpun kewenangan-kewenangan eksekutif yang tersebar di Kementerian dan Pemerintah Provinsi sebagai tugas pokok Badan baru. Dalam jangka menengah penguatan kewenangan Badan baru harus dilakukan dengan merevisi secara terbatas UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU 12/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebelum Badan Pusat Legislasi nasional terbentuk, pemerintah Pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM membentuk Satuan Tugas untuk menyusun indeks kebijakan daerah yang terpusat dan satu data yang menghasilkan data dan rekorrendasi revisi/pencabutan produk hukum daerah, dalam kerangka yang tidak bertentangan dengan Putusan Makamah Konstitusi sebagaimana dimaksud.
Secara paralel, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang menerbitkan produk hukum daerah diskriminatif melakukan kajian dan revisi serta pemulihan hak atas pelayanan publik, melalui 3 langkah yaitu: (1) untuk jenis peraturan gubemur (Pergub), Peraturan Bupati/Walikota (Perbup/Perwali) pemerintah daerah bisa langsung melakukan revisi. (2) Untuk jenis produk hukum daerah dalam bentuk Perda, Gubemur dan Bupati/Walikota mengambil prakarsa melakukan legislative review melalui mekanisme legislasi di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. (3) pemerintah daerah, melakukan pemulihan segera terhadap kelompok terkena dampak dengan memenuhi hak-hak atas pelayanan publik dan atau menyusun panduan pelayanan publik baru yang toleran dan antidiskriminasi.