K
SuaraHeadline.com Jakarta – Perwakilan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) menilai, regulasi atau undang-undang penghunian dan pengelolaan rumah susun (rusun) yang disusun dan diterbitkan oleh pemerintah masih terasa lemah dan berpotensi menimbulkan konflik antara penghuni, pemilik dan pengembang serta pengelola rumah susun.
Pasalnya, sebagai regulator, pemerintah terlihat tidak serius mengatur rumah susun. Pemerintah cenderung melakukan pembiaran, ketimbang pemeliharaan sekalipun dalam bentuk regulasi.
Jadi, pengadaan Pembangunan hingga penyelenggaraan rumah susun atau yang dikenal apartemen di Indonesia masih menjadi permasalahan pelik dan ruwet. Dari urusan lahan, regulasi, penyimpangan peruntukan hingga pengelolaan yang memicu konflik.
Hal tersebut diutarakan oleh Praktisi Hukum Sabar Daniel H, SH bersama Perwakilan P3SRS, Jhon R Kelinduan SH di Jakarta, Sabtu (9/2/2019).
Menurut Sabar Daniel, bahwa hadirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tidak serta merta menyediakan solusi terhadap masalah rumah susun, yang terbukti pasca terbitnya UU tersebut, tidak diikuti dengan Peraturan Pelaksananya.
“Jadi masalah seputar penghunian dan pengelolaan rusun tidak pernah menemui titik terang. Bahkan dalam lima tahun terakhir, konflik tersebut justru mengalami peningkatan yang cukup signifikan,” ujar Sabar Daniel.
Meskipun saat ini papar dia, dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 132 Tahun 2018 khususnya pada Pasal 28 ayat (7) Pergub 132 Tahun 2018, bahwa dalam pengambilan keputusan pemilihan Pengurus dan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setiap nama Pemilik Sarusun hanya berhak memberikan 1 (satu) suara walaupun memiliki lebih dari satu sarusun.
“Ini menjadi Kontra dengan regulasi yang dibuat Pemerintah Pusat, Pargub tersebut disusun dan diterbitkan seakan tidak mengacu kepada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Oleh karena itu, ketidakpastian bisa memicu konfiik di lapangan,” tegas Sabar Daniel.
Sebagai contoh menurut dia, terdapat pada Pengaturan hak anggota P3SRS yang dirumuskan dalam Pasal 77 UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang RUSUN. Pasal tersebut merumuskan, bahwa:
(1) Dalam hal P3SRS memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan rumah susun. setiap anggota mempunyai hak yang sama dengan NPP.
(2) Dalam hal P3SRS memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan penghunian rumah susun, setiap anggota berhak memberikan satu suara.
“Dari pasal tersebut, dapat kita simpulkan beberapa hal yakni, Pertama, Hak dimiliki oleh setiap anggota. Siapa yang dimaksud dengan anggota PPPSR sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 21 UU 20 Tahun 2011 bahwa P3SRS adalah badan hukum yang beranggotakan para pemilik atau penghuni satupun,” tutur Sabar Daniel.
Kemudian lanjut dia, di pertegas kembali dalam pasal 74 ayat (2) UU RUSUN, bahwa P3SRS sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) beranggotakan pemilik atau penghuni yang mendapat kuasa dari pemilik sarusun.
“Dari kedua pasal tersebut jelas anggota adalah para pemilik atau penghuni. Maka jika kita kaitkan dengan Pasal 77 UU RUSUN, hak tersebut dimiliki oleh pemilik atau penghuni,” ucap Sabar Daniel.
Kedua, terdapat tiga macam hak yakni hak yang berkaitan dengan kepemilikan, hak yang
berkaitan dengan pengelolaan dan hak yang berkaitan dengan kepentingan penghunian. Ketiga, hak tersebut dimiliki oleh setiap anggota. Ketiga hak tersebut kemudian di klasifikasikan menjadi dua bentuk.
Pertama, Hak yang berkaitan dengan kepemilikan dan pengelolaan berdasarkan NPP. Besaran NPP lah yang dijadikan patokan. “Maka, jika seseorang pemilik mempunya 3 (tiga) unit sarusun maka, ia akan mempunyai NPP yang lebih besar yang merupakan penjumlahan dari NPP setiap sarusun yang dia miliki, artinya haknya juga lebih besar,” ungkap Sabar Daniel.
Kedua, Hak yang berkaitan dengan kepentingan penghunian. setiap anggota berhak memberikan satu suara. Dengan ketentuan apabila satuan rumah susun (sarusun) telah dihuni, suara pemilik dapat dikuasakan kepada setiap penghuni sarusun. Apabila sarusun belum dihuni, setiap nama pemilik hanya mempunyai satu suara walaupun pemilik yang bersangkutan memiliki lebih dari satu sarusun.
Artinya, menurut Sabar Daniel, jika seseorang pemilik mempunyai 3 (tiga) unit dan belum dihuni maka pemilik tersebut hanya memiliki satu suara. Begitu pula jika seseorang mempunyai 3 (tiga) unit, unit tersebut telah dihuni maka hak suara pemilik dapat dikuasakan kepada pemilik. Maka, akan ada tiga suara atas masing-masing unit.
“Itu tidak adil jika penentuan hak suara pemilik atau penghuni rusun menggunakan mekanisme One Man One Vote (satu orang satu suara). Jelas, tidak adil. Kalau saya punya 7(tujuh) unit. saya harus bayar service charge 7, tapi suara saya cuma satu. Maka, sebaiknya dipakai mekanisme NPP, itu paling cocok karena antara hak dan kewajiban seimbang,” jelas Sabar Daniel.
Sementara itu, Jhon R Kelinduan menyampaikan, perselisihan yang timbul terkait Rusun tampaknya mengahadapi jalan buntu. Penyebabnya antara lain, ketidakpuasan terhadap pengelolaan, keuangan yang tidak transparan, kedudukan pengembang yang dirasa masih mencengkram di dalam P3SRS, ambisi oknum ingin masuk ke dalam jajaran kepengurusan dengan motivasi memperkaya diri.
Menurut dia, masalah pembentukan P3SRS ini harus segera mendapatkan jawaban, pemerintah harus segera menerbitkan PP sebagai peraturan pelaksanan UU RUSUN. “PP ini sudah cukup Iama di nanti masyarakat. sudah delapan tahun belum juga terbit PP tersebut. Permasalahan PPPSRS hanya satu dari sekian permasalahan yang di akibatkan lambatnya kehadiran PP. Kiranya pemerintah dituntun keseriusannya dalam pembentukan PP tersebut,” ungkap Jhon R Kelinduan.
Beberapa permasalahan, menurut dia, pelanggaran serta ketidakpastian hukum yang akan ditimbulkan paska terbitnya Pergub Nomor 132 Tahun 2018, yakni diantaranya, pertama, Pergub tersebut melanggar Perundang-undangan diatasnya (Asas Hukum Lex Superior derogat legi inferiori);
Kedua, penggunaan sistem hak suara pemilihan pengurus dan pengawas P3SRS berdasarkan one man one vote pada Pergub Nomor 132 tahun 2018 pasal 29 ayat 7 justru bertentangan dengan semangat yang justru diatur dalam Undang-Undang Rumah Susun sendiri, yakni pada tahapan pengelolaan, maka menggunakan mekanisme pemungutan suara berdasarkan NPP.
Ketiga, Pergub yang secara umum mengatur mengenai P3SRSitu menimbulkan ketidak pastian hukum, khususnya bagi para pemilik daripada unit-unit satuan rumah susun;
Keempat, Pergub tersebut dibuat dan dikeluarkan tanpa kajian yg mendalam dan tidak melalui pembahasan dengan pelaku pembangunan, serta diterbitkan dengan tidak mengacu kepada pasal-pasal acuan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2011, khususnya pasal 78 yang mendelegasikan kewenanganan pengaturan terkait dengan P3SRS melalul Peraturan Pemerintah (PP);
Kelima, Pergub tersebut diterbitkan mendahului diterbitkannya PP, sehingga secara hukum Pergub tersebut tidak mempunyai payung hukum baik secara delegatif. Hal itu berdasarkan pada hierarki Peraturan Perundangan-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.